ARIYANTA,S.Pd.Jas

Jumat, 06 Februari 2009

Bola, Uang, Cinta, dan Kesetiaan

SAYA tidak pernah menginginkan uang atau apa pun. Saya telah melakukan yang terbaik di tempat ini di mana banyak orang sangat mencintai saya, sehingga saya merasa harus selalu setia membela Il Diavolo- AC Milan”. Itulah ungkapan seorang legenda sepak bola modern Kaka, yang mengakhiri spekulasi tentang dirinya yang sedianya dibeli Manchester City dengan tawaran “gila” sekitar Rp 2,1 triliun.



Meskipun pesepak bola asal Brasil ini gagal dibeli oleh Manchester City, namun sosok Kaka telah mencuatkan sebuah fenomena tersendiri dalam perhelatan sepak bola modern yang mengagungkan uang. Uang dalam dunia sepak bola yang kapitalis, telah menjadi standarisasi profesionalisme para bintang lapangan hijau. Kebintangan seorang pemain bola profesional ditentukan oleh nilai nominal uang.

Dalam dunia kapitalis, segala alat dan sarana hidup ditempatkan dalam perangkap uang. Manusia pun tanpa kecuali terkungkung dalam perangkap uang. Sehingga, para bintang lapangan hijau, bak selebritas di dunia maya atau di layar kaca, menjadi tidak lebih sebagai barang yang dipertukarkan dengan tafsiran nilai yang setara atas persetujuan dan kesepakatan di antara pihak-pihak yang terlibat transaksi jual beli.

Tatkala dorongan para pemilik dan manajar klub untuk memiliki para bintang sepak bola meningkat dan hasrat untuk mencukupi atau memenuhi kebutuhan untuk memiliki dan menikmati sajian keindahan para bintang mewakili klub yang dicintainya, bahkan melampaui household self-sufficiency and production for use, uang lalu dijadikan sebagai alat transaksi yang berorientasi mencari peruntungan semata. Maka, tidak heran tatkala kehadiran seorang bintang tidak lagi menguntungkan klub, sang bintang pun “ditendang”.

Bahayanya, tatkala uang menjadi satu-satunya alat kecundang dalam dunia sepak bola, maka ikatan sosial antara pemilik dan manajer klub serta para pencinta sepak bola, bahkan antarkomunitas sepak bola dapat menjadi rusak. Ingat bagaimana pers Italia dan para pendukung Rosseneri melakukan protes keras atas “rencana” kepindahan Kaka yang berakhir gagal itu. Artinya, bukan tidak mungkin kepindahan Kaka dapat merusak hubungan antara klub AC Milan dengan para pencinta klub tersebut.

Hal itu sebenarnya sejak dulu kala sudah dikatakan oleh filsuf Yunani klasik Aristoteles, pertukaran apa saja yang bermotif cari untung bisa dengan mudah merusak “ikatan sosial antara rumah tangga di masyarakat”. Atau, Karl Marx menyebut, uang yang berfungsi sebagai alat tukar dalam konteks masyarakat modern yang berorientasi keuntungan diri, dipandang sebagai agen individualisme yang kuat seperti ditemukan dalam masyarakat primitif.

Memang kehadiran uang dalam transaksi jual beli pemain membuat gairah bermain sepak bola dapat dibangkitkan. Kualitas sepak bola pun serta merta ditingkatkan. Teknik, strategi dan kemasan taktik yang sebelumnya kurang berbobot, dapat bekembang. Tontonan yang membosankan dapat menjadi semakin atraktif dan menghibur.

Namun, sayangnya, tatkala uang menjadi satu-satunya nilai benda yang diagungkan, maka bukan saja martabat manusia direndahkan, dan ikatan sosial pun dapat menjadi hancur, tetapi juga dapat menodai cinta, kesetiaan dan kesejatian hidup insani. Bahkan, uang juga melanggar kepatutan, merusak tatanan nilai, moralitas, etika dan norma yang menjadi sendi dasar persahabatan dalam kehidupan.

Untung, Kaka telah hadir bagai sosok moralis yang mampu menguburkan impian para kapitalis yang selalu mengendalikan para bintang dengan keperkasaan uang. Kaka telah hadir sebagai sang legenda baru yang menegaskan bahwa uang bukanlah segalanya bagi manusia. Materi apa pun dapat dibeli dengan uang, tetapi manusia yang hidup dalam cinta, kesetiaan dan persahabatan, tidak selamanya dibius oleh silaunya uang.

Jadi, tatkala profesionalisme dan kebintangan seorang pesepakbola hanya ditentukan dengan uang, maka tergeruslah moralitas publik sepak bola. Tergerusnya moralitas ini akan terus menuruti hasrat menumpuk materi atau dorongan memenuhi selera hedonistik para pemilik klub yang melampaui standar ketercukupan untuk menjalani kehidupan yang membahagiakan bagi para bintangnya.

Thomas Koten
Penulis adalah Direktur Social Development Center


Tidak ada komentar:

Posting Komentar